Headlines News :

Candi Airlangga Akhirnya Ditemukan di Hutan Pataan Lamongan


Warga Desa Pataan, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, digemparkan dengan penemuan sebuah candi di hutan dekat areal persawahan warga. Tapi beberapa warga mengatakan bahwa bangunan tersebut sudah lama ada, dan warga sering melintasi tapi tak berani mendatangi sebab karena tempat tersebut dianggap sakral.

Candi tersebut diperkirakan dibuat pada abad XI atau zaman Kerajaan Airlangga dan digunakan sebagai tempat pemujaan. Bagian tepinya terbuat dari batu kapur yang tersusun rapi. Setiap batu kapur memiliki panjang sekira 30 centimeter dan lebar 20 centimeter dengan ketebalan berkisar 10-15 centimeter. 

Di sisi lain terdapat bebatuan hitam dan keras serta pahatan khas zaman kerajaan kuno. Sedangkan di bagian tengah candi terdapat semacam tempat air yang melingkar. Bagian yang dindingnya juga terbuat dari batu tersusun rapi ini diperkirakan sebagai petirtaan saat pemujaan.  Bagian ini tersambung dengan bangunan aliran air menuju ke luar candi. 
"Candi ini diperkirakan dibangun pada zaman Kerajaan Airlangga pada abad XI masehi karena di Desa Pataan ini telah ditemukan Prasasti Patakan sebagai tanda zaman Airlangga yang kini telah disimpan di musium nasional," papar Supriyo, salah seorang penemu candi. 

Warga juga menyakini di sekitar area candi terdapat permukiman kuno. Pasalnya, warga sering kali menemukan gerabah serta pecahan guci guno di sekitar lokasi penemuan candi.
Warga berharap tim Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala melakukan penggalian sehingga struktur candi dapat terlihat secara utuh.

Apakah ibukota Kerajaan Airlangga terdapat di daerah Pataan Kabupaten Lamongan..??

Dengan diketemukan Candi  dan banyak bangunan serta disertai banyak peningalan gerabah, maka beberapa pakar masih meneliti keberadaan Airlangga di daerah Pataan. 

Dari fakta arkeologis yang ada. Yakni Prasasti Pamwatan tahun 1042 masehi dan Prasasti Terep tahun 1032 masehi yang dulu telah diketemukan dan sekarang disimpan di Museum Nasional, menyebutkan ada bangunan candi yang didirikan sekitar abad 11 masehi.

Menurut Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti, keduanya dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia  Agus cenderung sepakat dengan asumsi bahwa keraton pertama Airlangga, yaitu Wwatan Mas terdapat di wilayah Lamongan. Sementara keratin terakhirnya, Dahanapura disamakan dengan Daha, ibu kota wilayah Panjalu (saat ini Kediri). “Fakta yang ada tipis untuk menunjukkan bahwa Wwatan Mas berlokasi di utara Gunung Penanggungan. Justru dari Prasasti Wotan yang ada di Dusun Wotan/Lamongan, kemungkinan besar Wwatan Mas Airlangga berada di Lamongan. Banyak laporan yang menyebutkan serinngkali ditemukan artefak emas, arca, kertas emas tipis dan perhiasan di sekitar Dusun Wotan, “ ungkap dia.

Sementara Ninie justru menyebutkan konsentrasi temuan prasasti setelah 964 saka (Prasasti Pamwatan) yang isinya menyiratkan keraton baru Airlangga, Dahana Pura, berada di wilayah Kabupaten Lamongan. Yaitu terbanyak ditemukan di wilayah Kecamatan Sambeng dan Ngimbang. Berdasar analisis distribusional prasasti, dia percaya Kerajaan Airlangga mula-mula berada di sekitar Surabaya, kemudian berpindah ke wilayah lebih pedalaman di daerah aliran Sungai Brantas dan Bengawan Solo akibat serangan musuh.

Fakta lain di paparkan Supriyo, Ketua Lembaga Studi dan Advokasi untuk Pembaruan Sosial (LSAPS) terkait dengan kelahiran Lamongan. Setelah kemunduran Majapahit yang juga berimbas pada kemunduran Perdikan Biluluk di Lamongan Selatan, wilayah utara Lamongan justru berkembang dengan lahirnya perdikan-perdikan Islam. Seperti Perdikan Sedayu, Drajat dan Sedang Dhuwur.

Perdikan Drajat pada tahun 1475 atau 1553 M dipimpin oleh Sunan Drajat, keturuna Sunan Ampel. Sementara Perdikan Sendang Dhuwur pada tahun 1483/1561 M dipimpin Sunan Sendang atau Raden Rahmat. Kemudian di periode yang sama, di wilayah tengah, di Tumenggungan yang sekarang masuk wilayah Kota Lamongan berkembang pemerintahan di bawah kendali Rangga Hadi dengan gelar Tumenggung Surajaya tahun 1569-1607 M. Wilayah ini masuk kendali Kasultanan Giri. Pengangkatan Rangga Hadi inilah yang sampai sekarang dijadikan dasar penentuan Hari Jadi Lamongan.
Sebagai rakyat lamongan, harus lebih bijak untuk menghargai kebudayaan dan sejarah dahulu, dengan mengungkap kebenaran dan menjaga kelestarian benda-benda sejarah disekeliling anda.

lamongan-kota

Jejak Raja Airlangga di Bumi Lamongan

Tulisan ini sebuah ringkasan, dari rintisan penulis untuk menguraikan jejak-jejak kuno baik berupa prasasti dan juga situs-situs candi yang masih terpendam di bumi Lamongan.  Semoga bisa memberikan manfaat bagi seluruh Masyarakat Lamongan khususnya dan semua pihak secara umum.
“Lamongan menyimpan data yang luar biasa mengenai Prabu Airlangga. Airlangga itu raja besar malah lebih besar dari Hayam Wuruk. Dari disertasi saya saja sudah 7 artikel saya buat tentang Airlangga, yang paling lengkap ingin saya sampaikan di Lamongan supaya orang Lamongan bisa bangga dengan leluhurnya”, Dr. Ninie Soesanti arkeolog UI.

Demikian ungkapan Dr. Ninie Soesanti seorang arkeolog UI yang pernah meneliti beberapa prasasti Airlangga di Lamongan. Ungkapan ini disampaikan melalui email saat saya berkomunikasi tentang transkrip beberapa prasasti Airlangga di Lamongan.

Dari sepintas ungkapan di atas dan didukung dengan fakta arkeologis dilapangan, maka judul tulisan diatas nampaknya tidak berlebihan. Lamongan memang menyimpan banyak data berkaitan dengan masa pemerintahan kerajaan Prabu Airlangga, terutama berupa tulisan diatas batu atau yang biasa disebut dengan prasasti batu. Dari data sementara yang terkumpul paling tidak terdapat 41 prasasti batu yang sebagian besar diperkirakan berasal dari zaman sebelum munculnya Kerajaan Majapahit, namun demikian belum pernah ditemukan adanya keterangan prasasti pada era singasari. Beberapa prasasti seperti prasasti pamwatan (Pamotan), prasasti Pasar Legi (Sendang Rejo, dulunya satu Desa), prasasti Puncakwangi, Prasasti Wotan (Slahar Wotan), dan lainnya jelas teridentifikasi sebagai prasasti-prasasti yang di keluarkan oleh Prabu Airlangga.
Disamping prasasti-prasasti yang tersebut diatas masih banyak jajaran prasasti lainnya yang belum teridentifikasi secara pasti mengenai tahun dikeluarkannya prasasti dan juga kandungan isi dari prasasti tersebut. Yang perlu disayangkan adalah akibat dari kurangnya perhatian berbagai pihak, banyak dari prasasti-prasasti tersebut dalam kondisi yang sangat memprihatinkan karena terkesan tidak ada kepedulian baik dari pihak yang berwenang maupun masyarakat secara umum. Kondisi ini menyebabkan banyak prasasti yang makin rusak bahkan kemudian banyak juga yang hilang dicuri, dirusak orang atau tengelam/terkubur.

Menurut hasil-hasil penelitian para arkeolog sebagian besar prasasti Airlangga banyak ditemukan disekitar Jombang dan Lamongan, membujur dari sekitar Ploso ditepian sungai Brantas, Sambeng, Ngimbang, Modo, dan Babat sekitar Bengawan Solo. Berdasar dari data faktual berupa prasasti tersebut maka tidak heran jika banyak ahli sejarah yang menyimpulkan bahwa pusat kekuasaan Raja Airlangga diperkirakan berada di sekitar Ngimbang. Jika pendapat ini benar maka bisa dipastikan bahwa Lamongan merupakan daerah yang penting semasa Pemerintahan Kerajaan Airlangga. Tidak dapat dinafikan pula bahwa wilayah Lamongan menjadi sentral dalam upaya mengungkap dan mempelajari sejarah kerajaan Airlangga.

Airlangga adalah penerus wangsa isana di jawa timur yang lolos dari bencana pralaya yang meluluh lantakkan istana Mataram kuno masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Peristiwa serangan mendadak yang dilancarkan oleh Raja Wurawari ini terjadi tepat pada saat pesta perkawinan antara Airlangga dan putri Raja Dharmawangsa Teguh sedang berlangsung. Serangan ini banyak menewaskan para pembesar Istana termasuk Raja Dharmawangsa Teguh juga meninggal dalam serangan tersebut dan dicandikan di Wwatan.
Airlangga, yang datang ke Mataram untuk dinikahkan dengan anak Dharmawangsa teguh, adalah anak dari Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, saudara perempuan Dharmawangsa Teguh, dengan Udayana, seorang Raja dari wangsa Warmmadewa Bali. Saat pesta perkawinan berlangsung peristiwa pralaya terjadi ( 1016 M) , Airlangga yang pada saat itu baru berumur 16 tahun mampu menyelamatkan diri dari pralaya, bersama seorang hambanya yang setia, Narottama. Airlangga menjalani kehidupan di hutan lereng gunung dan berkumpul dengan para pertapa dan pendeta. Kehidupan Airlangga dihutan bersama dengan pertapa dan pendeta nampaknya banyak memberikan pelajaran dalam perjalanannya kemudian saat menjadi Raja. Sejak inilah perjuangan Airlangga dimulai. Sebagai jelmaan dewa Wisnu (saksatiranwisnumurtti) Airlangga membangun tahta dari puing-puing kehancuran kerajaannya.

Setelah melewati masa persembunyian dengan kalangan pertapa, Airlangga didatangi oleh utusan para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana) yang menyampaikan permintaan supaya ia menjadi pemimpin di kerajaan yang istananya telah hancur tersebut. Tahun 1019 Airlangga dengan direstui para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana). Dia berhasil naik tahta dengan bergelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikrama Utunggadewa dikukuhkan di Halu (ikanang halu kapratisthan sri maharaja) selanjutnya Airlangga membuat arca perwujudan leluhurnya yang telah dicandikan di Isanabajra (Sang lumah ring Isanabajra), penobatannya dikukuhkan pada sasalanchana abdi vadane (bulan lautan muka = 941 Saka/1019 M).

Periode awal pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan dan penaklukan negara-negara bawahan yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan kerajaan Dharmawangsa Teguh. Pada tahun 943 Saka (1021) Raja Airlangga telah memberi anugerah ‘sima’ kepada penduduk Desa Cane yang masuk wilayah tinghal pinghay, karena mereka terlah berjasa menjadi “benteng” disebelah barat kerajaan, senantiasa memperlihatkan ketulusan hatinya mempersembahkan bakti kepada raja, tiada gentar mempertaruhkan jiwa raganya dalam peperangan, agar sri maharaja memperoleh kemenangan.

Prasasti Pucangan memberitakan bahwa antara tahun 1029 – 1037 Airlangga menaklukan Wuratan (1030 M) dengan rajanya bernama Wisnuprabhawa terkenal sangat kuat (atisayeng mahabala), pada tahun sama menyerang raja Panuda dari Wengker (pangharpharpan mwang haji wengker). Tahun 1032, haji Wura Wari yang memporandakan kraton Dharmmawangsa Teguh, menaklukan juga seorang ratu wanita (?) yang konon sangat gagah seperti raksasi. Berita ini khusus dimuat pada bagian berbahasa Sansekerta. Prasasti (tembaga) Terep (1032) menerangkan kraton Airlangga di Wwatan Mas diserang musuh (?) sehingga Airlangga harus menyingkir ke Patakan (ri kala sri maharaja kalataya sangke wwatan mas mara i patakan).

Setelah melewati berbagai peperangan, penaklukan, dan konsolidasi diawal hingga pertengahan masa pemerintahannya. Peringatan kemenangan kemudian dikukuhkan di dalam prasasti Turun Hyang A (1036) dan menganugerahkan penghargaan daerah sima kepada penduduk desa Turun Hyang karena jasa-jasanya dalam pembiayaan dan pengelolaan pertapaan Sriwijayasrama dan pertapaan-pertapaan lainnya di gunung Pugawat (matang ya siddhaken prajnanira madamel yasa patapaning pucangan) seperti disebut dalam prasasti Pucangan.

Patakan; Ibukota Sementara Dalam Pelarian Sang Raja
Periode antara tahun 951 saka (1029 M) sampai dengan tahun 959 saka (1037 M) adalah periode penaklukan yang dilakukan oleh Raja Airlangga terhadap musuh-musuhnya baik yang berada wilayah barat, timur, dan selatan.  Berita pada prasasti pucangan memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh raja Airlangga atas musuh-musuhnya tersebut.
Namun demikian diantara tahun-tahun tersebut bukan berarti istana Airlangga telah aman dari serangan musuh, kesuksesan dalam penaklukan wilayah sekitar ternyata juga diselingi dengan kekalahan bahkan pelarian. Peristiwa kekalahan yang dialami Airlangga, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan keratonnya di Wwtan Mas dan melarikan diri dari istananya menuju ke Desa Patakan, diterangkan dalam prasasti Terep tahun 954 Saka (21 Oktober 1032 M) “sri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan”, namun siapa musuh yang menyerangnya tidak jelas disebutkan. Para ahli sejarah menduga bahwa yang melakukan serangan ini adalah Raja Wurawari, artinya Raja Wurawari mendahului penyerangan terhadap ibukota kerajaan Airlangga sebelum kemudian Airlangga membalas serangan tersebut dan menghancurkan kerajaan Wurawari.

Dalam prasasti terep dikatakan bahwa raja telah memberikan anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong, adik raja sendiri, karena telah berjasa pada waktu Raja Airlangga harus menyingkir dari Wwatan Mas ke Desa Patakan. Di Desa Terep Rakai Pangkaja bersembunyi didalam suatu pertapaan, dan disitu ia menemukan arca Bhatari Durga. Maka ia berdo’a dan memohon kepada sang batari agar raja memperoleh kemenangan dalam peperangan. Ia berjanji jika permohonan itu terkabul ia akan mohon agar Desa Terep, tempat pertapaan itu, ditetapkan menjadi sima. Maka kini setelah raja dapat mengalahkan musuhnya itu, dan kembali bertahta diatas singgasana permata, Rakai Pangkaja Dyah Tumambong Mapanji Tumanggala menghadap raja dan mengajukan permohonanya. Maka dikabulkanlah permohonan itu, yaitu ditetapkannya pertapaan tempat pemujaan betari sebagai daerah swatantra, termasuk sawahnya, kebunnya, dan sungainya, dan ditambah lagi dengan anugerah gelar halu. Maka selanjutnya ia bergelar Rake Halu Dyah Tumambong

Peristiwa kekalahan dan pelarian raja Airlangga dari istana Wwatan Mas menuju desa Patakan terjadi pada tahun yang sama dengan penaklukan yang dilakukan Raja Airlangga terhadap Raja Wurawari. Jika perkirakan diatas benar, bahwa Raja Wurawari melakukan serangan terlebih dahulu dan berhasil memaksa Raja Airlangga untuk menyingkir ke Desa patakan. Maka dapat dipastikan bahwa serangan balik terhadap Raja Wurawari di persiapkan oleh Raja Airlangga dari istana sementara.
Berangkat dari istana sementara di Desa Patakan Raja dengan diiringi oleh rakryan Kanuruhan Mpu Narottama dan Rakryan Kuningan Mpu Niti berhasil menyerbu Raja Wurawari dari arah Magehan (Magetan?). serangan ini berhasil melumpuhkan pertahanan Raja Wurawari dan mengalahkannya, maka lenyaplah semua perusuh di tanah Jawa.

Keberadaan Desa Patakan sebagai pusat pemerintahan sementara juga dikuatkan dengan adanya Prasasti Sendangrejo Kecamatan Ngimbang (dulu bernama Desa Pasar Legi Kecamatan Sambeng) 965 Saka atau 1043 M, yang memuat tentang penghargaan/anugerah  terhadap penduduk Desa Patakan, sayang prasasti ini rusak pada bagian sambandhanya sehingga tidak bisa terbaca secara jelas lagi. Sangat mungkin pemberian anugerah ini berhubungan dengan pertolongan dan darma bakti penduduk patakan terhadap Raja Airlangga pada saat melarikan diri ke desa tersebut.

Disamping keterangan dari Prasasti Terep dan Prasasti Sendangrejo, Prasasti Patakan sendiri juga memuat anugerah Raja kepada rakyat Desa Patakan. Patakan adalah suatu daerah yang pernah dijadikan sima karena punya kewajiban memelihara bangunan suci Sang Hyang Patahunan, sayang belum ada terjemahan yang cukup mengenai prasasti ini, isi prasasti sebetulnya lengkap tetapi prasasti pecah berantakan. JLA Brandes pernah membaca walaupun tidak lengkap. Prasasti tersebut sekarang ada di Museum Nasional dengan nomor D22.

Mengapa Airlangga memilih Desa Patakan sebagai tempat untuk melarikan diri dan memindahkan kekuasaanya untuk sementara?. Pemilihan Desa Patakan sebagai tempat bagi Raja Airlangga untuk melarikan diri sebenarnya bukanlah sebuah kebetulan semata, namun merupakan sebuah perencanaan matang yang didasari oleh posisi strategis Desa Patakan yang berada di bagian puncak dari perbukitan gunung kendeng yang membujur kearah barat, disamping jaminan keamanan dan kesetiaan yang bakal diterima oleh Raja Airlangga dari penduduk Desa Patakan.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa Raja Airlangga dinobatkan sebagai Raja dengan restu para pemuka agama dari tiga aliran yang berkembang pada saat itu. Artinya Raja Airlangga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan berbagai tokoh dan pemuka agama dari berbagai aliran tersebut. Di Desa Patakan, sebagaimana isi dari prasasti Patakan, tedapat bangunan peribadatan Sang Hyang Patahunan, yang berarti terdapat seorang pendeta yang sudah demikian dekat dengan Raja Airlangga yang dengan segenap daya dan pengikutnya tentu akan melindungi sang raja dari segala gangguan musuh. Jaminan keamanan ini sangatlah penting dalam situasi saat pelarian yang sangat beresiko jika saja sang Raja salah dalam memilih lokasi pelarian.

Tidak heran jika kemudian Raja Airlangga meneguhkan ulang status Sima bagi Desa Patakan untuk yang kedua kalinya dalam Prasasti Sendangrejo (1043 M) yang juga merupakan prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga sebelum kerajaan di belah menjadi dua bagian Jenggala dan Pangjalu.
Jejak mengenai tempat peribadatan atau candi di Desa Patakan ini masih terlihat hingga sekarang dan dalam keadaan yang memprihatinkan (penulis pernah mendatangi lokasi candi ini), sayangnya hingga sekarang belum ada perhatian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan dan juga belum ada penelitian dari kalangan Arkeolog. Namun jika melihat jejak-jejak yang ada pada lokasi disekitar bekas reruntuhan candi tersebut, masih ada situs-situs yang lain yang belum dapat penulis identifikasi bentuk bangunannya satu persatu, sangat mungkin keseluruhan dari bagian situs ini merupakan sebuah kompleks bangunan (petirtaan atau bahkan istana) yang bersanding dengan sebuah bangunan candi.

Pamotan; Kota Dahanapura Pangjalu Sebelum Kediri
Raja Airlangga (1016-1042 M) memerintah di Jawa Timur sejak 1021 sesuai dengan isi prasati Pucangan (Calcutta). Pusat kerajaan Airlangga berpindah-pindah karena diserang oleh musuh. Setelah peristiwa pralaya yang menghancurkan istana Wwatan milik Dharmawangsa Teguh, Airlangga yang bersembunyi di hutan lereng gunung kembali merebut istana Wwatan, menurut prasasti Cane (1021 M) Airlangga kemudian membangun istana Wwatan Mas. Prasasti Terep (1032 M) menyebutkan raja Airlangga lari dari istananya di Watan Mas ke Patakan karena serangan musuh. Setelah airlangga berhasil menaklukan Raja Wurawari pada tahun 954 Saka (1032 M), rupanya Raja Airlangga tidak kembali lagi ke Istana Wwatan Mas, namun ia justru meninggalkan istana Wwatan Mas dan membangun istana/ibukota baru di Kahuripan. Berita ini termuat dalam prasasti Kamalagyan 1037 M, yang berbunyi “makateweka pandri sri maharaja makadatwan i kahuripan”.


lokasi Prasasti Pamwatan yang hilang

Lalu sejak kapan airlangga memindahkan ibukota kerajaannya ke Dahana(pura)?. Nama Dahana(pura) termuat dalam uraian Serat Calon Arang sebagai ibukota kerajaan Airlangga, namun dalam uraian serat tersebut tidak disebutkan dimana letak kota Dahana(pura) juga tidak di Kediri ataupun di Lamongan.
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam bagian atas prasasti Pamwatan (Pamotan) yang dikeluarkan Airlangga tahun 964 Saka atau tepatnya 19 Desember 1042 Masehi yang merupakan prasasti akhir dari pemerintahan Raja Airlangga. Hal ini tentu sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Dahana(pura). Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).

kontributor : Yok’s Slice Priyo

Prasasti Terbelengkai Ditemukan Budayawan Nasional Di Pasar Waduk Gondang

Budayawan Nusantara Viddy AD Daery ( 48 tahun ) yang sedang menimba folklor-folklor lokal di daerah Lamongan, menemukan sebuah situs prasasti yang terlantar di belakang kompleks ruko Pasar Gondang di seberang lokasi wisata Waduk Gondang , desa Gondang , Kabupaten Lamongan.

Viddy menimba folklor untuk keperluan bahan cerita skenario serial “Jejak Wali” di MNC TV dimana Viddy adalah salah satu anggota tim penulis skenario. Ia antara lain telah menghasilkan “Karomah Raden Klowor Sendang” , “Sunan Hadi pendiri Lamongan” dan “Ki Ageng Brondong” yang ditayangkan MNC TV tiap Sabtu dan Minggu malam.

“Prasasti itu sudah aus, jadi tulisannya sudah tidak bisa dibaca. Namun menurut keterangan Khazin dan Yasak, tokoh budaya lokal, sepuluh tahun lalu tulisan itu masih ada dan berupa tulisan arab gundul atau pego atau jawi, lalu di bawahnya ada tulisan huruf Jawa Kawi.”tutur Viddy merujuk keterangan tokoh budaya setempat.

“Separoh badan prasasti itu tertanam di dalam tanah. Tapi sepuluh tahun lalu ya masih tegak kokoh.” kata Yasak yang sehari-harinya merupakan jurukunci situs makam Dewi Sekardadu.
“Itu adalah prasasti peninggalan Syeh Subakir di zaman Kerajaan Kediri. Dia ditugasi oleh Raja Kediri untuk memberi tumbal tanah Jawa. Prasasti itu adalah tumbalnya !” kata Khazin yang membuka toko jamu “Stromina” bersama anaknya di salah satu toko di kompleks ruko dekat prasasti tersebut tergeletak.

“Keterangan Pak Khazin itu memang perlu dibuktikan, namun kalau merujuk adanya tulisan arab disamping huruf Jawa di prasasti tersebut, maka, bisa diduga bahwa Islam telah masuk Nusantara semenjak zaman Kediri, karena prasasti itu dari zaman Kediri, dan memang legenda Syeh Subakir adalah guru makrifat Raja-Raja Kediri,antara lain Prabu Joyoboyo yang terkenal.”analisis Viddy yang juga menulis novel, puisi dan sering diundang sebagai pembicara budaya di Singapura,Malaysia, Brunei, Thailand dan Kamboja. Novel serialnya “Pendekar Sendang Drajat” kini beredar di pasaran.

Analisis Viddy yang lain adalah, desa Gondang adalah desa kuno yang sudah eksis sejak zaman Airlangga, karena di desa tersebut ada situs prasasti zaman Kediri, juga ada situs kuburan tua di dekat prasasti “Syeh Subakir” tersebut tergeletak.

Di samping itu, di sebelah kiri prasasti juga terdapat situs makam “Dewi Sekardadu” yang merupakan ibu dari Raden Paku alias Sunan Giri. Dewi Sekardadu melarikan diri dari kekejaman ayahnya yang merupakan Raja Blambangan yang tidak setuju Dewi Sekardadu menikah dengan Syeh Maulana Iskak. Eranya adalah zaman akhir Majapahit.

“Desa Gondang adalah situs desa Kuno, yakni jalur dari Giri menyusuri Kali Lamong ke arah barat menuju Mantup, lalu lewat desa Dumpi Agung terus ke barat menuju Gondang terus menuju jalan raya kuno Majapahit via Jombang-Babat/Bubat terus keTuban. Situs-situs di jalan raya itu sudah diteliti oleh DR.Nini Susanti, dosen UI ( Universitas Indonesia ), yang menyimpulkan bahwa di era akhir Kerajaan Airlangga, ibukotanya bergeser ke Lamongan, yakni di desa-desa sekitar Kali Lamong , antara lain Pamotan, Patakan, Garung, Ngimbang, Bluluk, Mada, Gondang dan sebagainya. Nama kerajaannya adalah Dahanapura dan Kahuripan.” urai Viddy lebih lanjut.

Viddy menyayangkan keteledoran pemerintah. “Seandainya tidak teledor, sepuluh tahun lalu ketika tulisan itu masih bisa dibaca,kan bisa menyewa ahli filologi ,antropolog dan ahli epigrafi, sehingga makna tulisan prasasti tersebut masih bisa dimengerti atau dianalisis maknanya.” sesal Viddy.

Viddy yang juga merupakan pengurus Yayasan Kertagama Jakarta akan berupaya agar Yayasan Kertagama menyetujui upaya merawat dan meneliti prasasti-prasasti yang terlantar di Nusantara. “Kalau pemerintah teledor, ya masyarakat yang harus bertindak agresif, jangan sama-sama teledor !” kata Viddy budayawan kelahiran Lamongan yang tahun ini diundang ke acara budaya di New Delhi India dan Bandar Sri Begawan,Brunei Darussalam.

Sebaran Prasasti dan Situs Kuno Di Wilayah Lamongan

 Secara kebetulan, Lamongan tercatat sebagai daerah terbanyak ditemukan benda bersejarah. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Mojokerto mencatat sebanyak 42 temuan situs sejarah yang menyebar di berbagai kecamatan di Lamongan. Situs itu berupa artefak, candi atau bentuk bangunan lainnya. Bahkan, tiga bulan belakangan ditemukan yoni dan batu-batu candi. Setelah dilakukan penggalian sementara, disimpulkan bahwa galian tersebut memang berupa candi. ”Ukurannya memang tidak besar. Hanya seluas 8 x 8 meter persegi. Letaknya di Desa Siser, Kecamatan Laren, ” kata Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lamongan, Bruno Bu’u.

Prasasti Gondang

Dalam verifikasi sumber data yang tertulis, banyak ditemukan ketidaksinkronan dengan kenyataan di lapangan. Beberapa data terdahulu, diantaranya data yang dilansir oleh Bapak Atmadi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1984. Semua data mengenai benda kuno terutama yang terbuat dari batu, seperti lumpang kuno, yoni, prasasti, situs dan lainnya, semuanya di identifikasi sebagai prasasti. Hal ini sedikit membuat kebingungan saat data tersebut di chek ke lapangan.

Data selanjutnya bersumber dari catatan dinas kebudayaan dan pariwisata, data ini juga tidak diterbitkan dan hanya sekedar menjadi catatan dan laporan internal dinas. Dalam data ini juga merujuk dari data Pak Atmadi, sehingga juga terdapat beberapa data yang belum terverifikasi. Hasil Laporan kegiatan registrasi dan informasi oleh suaka peninggalan sejarah dan purbakala di Kabupaten Lamongan (SPSP – Jawa Timur) Nopember 1987 dan tahun 2002. Dan juga hasil pendataan dan penelusuran tim LSAPS yang di lakukan 1 tahun sebelumnya.

Keberadaan prasasti sebagai sumber primer sangat berperan mengungkap segala bentuk peristiwa dan kejadian bersejarah di wilayah Lamongan. Keberadaan prasasti dalam hasil penelusuran Tim LSAPS dapat digambarkan sebagai berikut;


Prasasti di Kecamatan Sambeng, diantaranya:
 

1. Prasasti Pamwatan

Prasasti Pamwatan dikeluarkan oleh raja Airlangga melalui Mahamantri I Hino Sri Samarawijaya. Dikeluarkan pada tahun 964 C / 1042 M dan bahan batu andesit. Menurut beberapa penelitian arkeologi yang pernah dilakukan terhadap prasasti tersebut sebelum hilang, menyebutkan tentang bagian atas prasasti yang bertuliskan kata DAHANA(PURA) dalam aksara kwadrat Kediri. Sehingga muncul analisa yang memperkirakan jika wilayah Pamotan dan sekitarnya adalah pusat Kota Dahanapura yang merupakan ibukota kerajaan Airlangga di akhir masa Pemerintahannya 964 C / 1042 M .

Peninjauan di lokasi sekitar prasasti pada area/radius sekitar 1 KM juga menunjukkan adanya pecahan artefak-artefak kuno dan serakan batu bata kuno berukuran besar, terutama disekitar pekuburan yang terletak 200-300 m di sebelah utara lokasi prasasti.

Ditinjau dari letaknya, prasasti ini berada di sebelah selatan kali lamong yang di perkirakan sebagai batas dari kerajaan panjalu dan jenggala. Prasasti ini jika kita hubungkan dengan letak prasasti pucangan (Calcutta) yang berada di puncak bukit pucangan akan bertemu pada posisi garis lurus, sehingga dimungkinkan terdapat akses jalan kuno yang besar antara pamotan dan gunung pucangan pada masa itu.


2. Prasasti Nagajatisari

Prasasti Nagajatisari berada di Dusun Nogojatisari berbahan batu putih, tinggi 165 cm, lebar 60 cm, ketebalan 20 cm, dan menggunakan huruf Jawa Kuno. Posisi prasasti di tengah hutan jati milik perhutani yang jauh dari pemukiman penduduk. Disekitar prasasti ini dibangun sebuah cungkup yang cukup megah dengan dana secara swadaya, bagian bawah prasasti sebenarnya masih bisa terbaca, namun karena bagian dasar prasasti yang sudah dibangun sedemikian rupa maka pembacaan/pembuatan abklats pada prasasti sulit dilakukan. Kondisi prasasti ini relatif lebih aman dibanding dengan prasasti lainnya di Lamongan, meski berada di tengah hutan, keberadaan cungkup yang terbuat dari beton dan adanya juru kunci di bangunan cungkup membuat prasasti ini sangat terawat.

Prasasti ini ditengarai sebagai prasasti Airlangga menilik dari jenis hurufnya. Sayang hingga sekarang belum diketahui tentang isi prasasti Nagajatisari, dan kepada siapa prasasti ini diberikan. 


3. Prasasti lawan

Prasasti ini terletak di dusun Lawan, desa Kedungwangi Kec. Sambeng. Kondisi prasasti sudah sama sekali tidak terlihat tulisannya meski relative terawat dan terdapat cungkup yang melindungi sejak lama.

Letak prasasti ini pun cukup muda untuk ditemui yaitu di sebelah kiri gapura masuk dusun lawan dan di depan bangunan rumah jaman belanda milik mantan kepala desa setempat. Mengingat letaknya yang strategis maka keberadaan prasasti ini cukup aman.

Catatan pertama mengenai prasasti ini dapat ditemui dalam data registrasi Belanda pada tahun 1907 wilayah Residen Surabaya. Data registrasi ini mencatat ketinggian prasasti lengkap dengan bantalan pada masana 164 cm, tinggi tanpa padmasana 140 cm, lebar bagian atas 110 cm, lebar bawah 90 cm dan memiliki ketebalan 12,5 cm. Sementara berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh tim LSAPS, diperoleh hasil yang berbeda, yakni; tinggi 165 cm, lebar 60 cm, tinggi 20 cm, dan menggunakan huruf Jawa Kuno.

Prasasti Lawan ini ternyata pernah di transkrip oleh Brandes dalam OJO CXIII, namun yang terbaca dari prasasti ini hanya pada bagian sapattha (sumpah) bagi siapapun yang melanggar aturan dalam prasasti (detail transkrip dalam lampiran).

Prasasti ini dianugerahkan oleh seorang Raja yang menyebut dirinya Ҫri Paduka Mpungku, melalui seorang Mahamantri I Hino yang tidak terbaca siapa mahamantri yang dimaksudkan karena pada bagian nama mahamantri aksara pada prasasti ini telah rusak. Siapa raja yang dimaksud yang bergelar Ҫri Paduka Mpungku juga belum diketahui secara pasti. Namun sebagian besar dari arkeolog berpendapat bahwa nama tersebut adalah sebutan untuk Raja Airlangga. Disamping penggunaan kaligrafi aksara pada prasasti yang juga mengindikasikan sebagai prasasti Raja Airlangga.

Isi prasasti dimungkinkan tentang ketetapan tanah sima kepada penduduk Desa Lawan, namun alasan penetapan sama sekali tidak diketahui.


4. Prasasti Garung

Prasasti ini dalam keadaan hancur dan tergeletak di tepi sungai dipinggir Desa. Batu prasasti ini sebenarnya berukuran besar (lihat foto) dengan tinggi lebih dari 120 cm, lebar sekitar 100 cm lebih, dan berbahan batu andesit sementara penggunaan huruf tidak diketahui. Perkiraan ini dibuat mengingat keadaan medan yang tidak memungkinkan pengukuran dilakukan secara akurat. Menurut penduduk sekitar sebelumnya juga terdapat Lapak persegi lima, yang dimungkinkan sebagai lapak Prasasti dan masih menyisakan aksara. Sayang lapak tersebut juga sekarang tidak diketahui lagi keberadaanya.

Hampir tidak ada catatan pendukung apapun dari prasasti ini selain dari catatan pak Atmadi (P&K) yang menginformasikan bahwa ada sebuah prasasti yang terletak di Desa Garung. Beberapa pencarian keberadaan prasasti ini sebelumnya (setahun lalu) juga tidak membuahkan hasil. Baru pada penelusuran sekarang atas informasi dari Bapak Samsuri dari Desa Lawan maka tim dapat menemui keberadaan prasasti ini. Dan dari ciri fisiknya maka dapat dikenali bahwa batu besar yang tergeletak ditepi sungai ini adalah sebuah prasasti.

Bagian yang berbentuk segitiga dapat dikenali sebagai bagian atas prasasti meski tidak utuh, dengan perkiraan ketinggian sekitar 150 cm lebih. Dan lebar sekitar 90 cm, sementara tebal dari pasasti sekitar 30 cm dengan sisi yang membulat. Pemeriksaan pada bagian yang terlihat hampir mulus tanpa bekas tulisan, sementara sisi dibaliknya tidak dapat diketahui.


5. Prasasti Patakan

Prasasti ini sudah sejak lama berada di museum Nasional Jakarta dan hampir tidak diketahui asal persis prasasti ini, hanya di tuliskan bahwa prasasti ini berasal dari daerah disekitar Surabaya. Prasasti ini berbahan batu andesit, tinggi 104 cm, lebar atas 90 cm, lebar bawah 80 cm, tebal 24 cm, dan menggunakan huruf Jawa Kuno. Dari nama prasasti “PATAKAN” yang identik dengan nama desa Pata’an sekarang maka tim berusaha mendapatkan informasi seputar keberadaan prasasti patakan dan hasil transkrip prasasti tersebut yang kebetulan sudah pernah dilakukan oleh Brandes. Pembahasan terhadap isi prasasti tersebut juga sangat marak dalam dunia arkeologi dan sejarah.

Disebutkan bahwa prasasti ini berisi tentang penetapan tanah sima di desa Patakan sebagai kompensasi atas kewajiban bagi penduduk desa patakan untuk memelihara bangunan suci yang bernama Sang Hyang Patahunan.

Dalam OJO LIX juga tidak terdapat penjelasan sejak kapan prasasti ini diangkut ke Jakarta. Dalam data register tahun 1907 yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, juga tidak terdapat laporan mengenai prasasti ini. Sangat mungkin jika prasasti ini sudah berada di Jakarta jauh sebelum tahun tersebut.

Keberadaan bangunan suci yang dimaksudkan dalam prasasti tersebut menjadi rujukan bagi tim untuk menelisik lebih jauh daerah di sekitar Desa Patakan. Dan sebuah reruntuhan yang disebut oleh penduduk sekitar sebagai candi yang terdapat di tengah lahan perhutani nampaknya bisa memberi jawaban terhadap isi prasasti tersebut. Dilokasi sekitar juga banyak ditemukan struktur batu bata kuno berukuran besar.


1. Prasasti Sumbersari I dan Prasasti Sumbersari 2

Berdasarkan hasil pelusuran, prasasti Sumbersi I berada di Dusun Sempur, desa Sumbersari berbahan batu putih dengan ketinggian 144 cm, lebar atas 79 cm, ketebalan 30 cm, dan titik koordinat 07 17’16,8” dan 112 13’57,7. Sementara Prasasti Sumbersari 2 berada di Desa Sumbersari berbahan batu putih dengan ketinggian 80 cm, lebar bawah 60 cm, dan dengan ketebalan 24 cm. Kondisi permukaan prasasti sudah aus dan hampir tidak ditemui jejak tulisan maupun aksara dalam tubuh prasasti. Ada kemungkinan juga bahwa batu ini baru merupakan sebuah bakalan prasasti. Prasasti ini juga pecah pada bagian tengahnya tetapi masih tersambung tepat.


Persebaran prasasti di Kecamatan Ngimbang, antara lain;

1. Prasasti Sendangrejo

Prasasti ini terletak di hutan jati sekitar dukuh titing Desa Sendang Rejo, Kecamatan Ngimbang, jauhnya hanya sekitar 60 meter dari jalan yang melintas hutan jati tersebut. Bentuk prasastinya agak kaku, bagian atas berbentuk segitiga. Bahannya dari batu putih keras dengan ketinggian 140 cm, tinggi sisi 104 cm, lebar atas 90 cm, lebar bawah 80 cm, dan ketebalan 24 cm sementara penulisannya menggunakan aksara Jawa Kuno.

Kondisi prasasti ini sekarang sudah hampir tak terlihat lagi jejak tulisan dalam prasasti ini. Namun dalam berita penelitian arkeologi sebelumnya, No.47 yang dikeluarkan oleh Puslitarkenas. Disebutkan bahwa masih terdapat jejak tulisan tipis yang terdapat pada keempat sisi prasasti, disisi depan ada 22 baris , sisi belakang aus sama sekali, di sisi C asa 14 baris dan disisi D juga ada 14 baris . aksara dan bahasa jawa kuno. Tulisan yang dapat terbaca menyebutkan nama Airlangga, nama I Hino Sanggarama-Wijaya dan memuat angka 965 saka atau 1043 M.

Menurut pembacaan Brandes, prasasti ini diturunkan kepada penduduk Desa Patakan karena telah berjasa kepada Raja Airlangga, namun jasa apakah yang dimaksudkan dalam prasasti tersebut tidak diketahui.


Persebaran prasasti di kecamatan Ngimbang diantaranya;

1. Prasasti Sendang Gede Ngimbang

Prasasti ini ada di desa ngimbang, kecamatan ngimbang: sebagian batunya terbenam. Bagian yang tampak setinggi 102 cm, lebar 98 cm, tebal 21 cm, dan bahan dari batu putih. Disisi depan tampak tulisan sebanyak 26 baris, disisi belakang juga data tulisan sebnyak 26 baris sedangkan disudut C dan D tidak tampak tulisannya. Aksaranya jawa kuno dan tentunya bahasanya jawa kuno ( walaupun tidak terbaca). Bahan bakunya mengandung banyak pasir.

Prasasti ini terletak disebelah timur sendang dan menancap di tanah, bagian bawah tidak diketahui bentuk aslinya, apakah terdapat padmasana ataukah langsung menancap di tanah.

Terlindungi dengan sebuah cungkup yang sederhana dengan bagian atap terbuat dari seng. Dengan kondisi yang kurang terrawat dan rawan dari sisi keamanan. 


2. Prasasti Drujugurit

Prasasti Druju Gurit merupakan prasasti yang cukup besar dibanding prasasti lainnya di Lamongan, bahkan bisa dikatakan paling besar untuk prasasti-prasasti di Lamongan.

Bentuk prasasti Druju Gurit yang terdapat di Kecamatan Ngimbang ini seperti prasasti dari sendang Rejo tetapi lebi lebar. Ukuran tingginya 167 cm, labar 122 cm, tebalnya 46 cm, dan bahan batu kapur putih. Kaki prasasti dipahat dari hiasan Padma Ganda. Tulisanya sangat aus, disisi depan ada 26 baris, disisi belakang juga tampak 26 baris sedangkan di sisi C dan D tidak tampak tulisanya.

Bahan batunya mengandung bahan kapur dan sangat rapuh. Dibagian bawah terdapat hiasan padmasana.Prasasti ini juga terletak di sebelah utara sebuah sendang di dusun Gurit, berjarak sekitar 150 meter dari sekitar sendang dusun Gurit. Disekitar lokasi prasasti juga banyak ditemukan fragmen pecahan gerabah dan batubata kuno.

Prasasti ini juga diperkirakan sebagai prasasti peninggalan Raja Airlangga atau generasi penerus Airlangga, mrngingat belum ada penerjemahan terkait isi prasasti dan kepada siapa prasasti ini diberikan. Identifikasi hanya bisa dilakukan terhadap jejak aksara pada prasasti yang sudah sangat aus dan tak dapat lagi di baca.


3. Prasasti Wotan

Prasasti ini ada di Dusun Curing/Wotan, Desa Slahar Wotan, Kecamatan Ngimbang. Tinggi batunya 121.5 cm, lebar 74 cm, tebal 25 cm, berbahan batu putih, dan menggunakan aksara Jawa Kuno. Tulisan yang tampak disisi depan ada 31 baris, disisi belakang ada 30 baris, disisi C 26 baris dan di sisi D ada 21 Baris. Tulisanya sangat aus tetapi bentuk hurufnya serupa dengan prasasti jaman Airlangga.

Belum ada transkrip yang ditemukan terkait prasasti ini dalam beberapa penelitian arkeologi sebelumnya, sehingga belum diketahui isi dari prasasti tersebut, identifikasi hanya bisa dilakukan dari sisi bentuk dan aksara yang digunakan.

Namun demikian indikasi kuat prasasti ini berasal dari zaman Airlangga atau generasi penerus Airlangga, terlihat dari model aksara yang terdapat pada prasasti ini.


4. Prasasti Purwokerto

Prasasti Purwokerto terletak di pematang sawah di dataran yang lebih dari perkampungan, ditemukan dalam keadaan sudah hancur berantakan. Prasasti ini berketinggian 40 cm, lebar 20 cm, ketebalan 20 cm, dan berbahan batu putih. Reruntuhan dari prasasti juga terdapat disekitanya. Hampir tidak ditemukan jejak tulisan apapun pada badan prasasti karena kondisinya yg hancur dan berlumut.

Bentuk awal prasasti ini juga tidak diketahui, termasuk penduduk sekitar juga sudah tidak tahu lagi bentuk semula. Sebagian dari badan prasasti masih menancap di tanah dan tertimbun dengan rerumputan dan tanah pematang, sebagian dari reruntuhannya terdapat di sekeliling. Paling tidak terdapat 4 bongkahan batu pecahan prasasti ini disekitar lokasi tersebut dan terpendam sebagian di dalam lumpur sawah.


5. Prasasti lemahbang

Prasasti ini berdiri di sebelah barat dusun ditengah tanah yang rimbun ditumbuhi pepohonan, terletak pada bagian tanah yg agak tinggi dibandingkan dengan lahan sekitar dan berdekatan dengan tanah pekuburan. di

Prasasti ini berada di Desa lemahbang, kecamatan ngimbang. Bahan batunya banyak mengandung kapur, ukuranya tinggi 104, lebar 74, dan tebal 20 cm, di sisi depan tampak tulisan sebanyak 23 baris, disis belakang ada 26 baris, disisi C ada 23 baris dan disisi D juga da 23 baris dengan aksara Jawa kuno.

Jejak aksara pada prasasti ini relative lebih jelas dibanding seluruh prasasti yang ada di Lamongan. Meski sudah menipis hurufnya, hasil berita laporan penelitian arkeologi No.47 menyebutkan bahwa pada salah satu baris disisi depan terbaca kata “Imah Irah”, artinya sama dengan lemahabang atau tanah merah. Tidak diketahui secara pasti isi keseluruhan prasasti ini, namun banyak ahli epigrafi berpendapat bahwa prasasti ini diperkirakan sebagai prasasti jaman Airlangga.


6. Prasasti Brumbun

Prasasti ini tergeletak/roboh dilahan persawahan milik bapak Salam, warga dusun brumbun Desa Lamongrejo. Bagian atas prasasti berbentuk segitiga dengan puncak lancip. Pada permukaan prasasti terlihat halus dan tulisan pada prasasti tak dapat dikenali lagi. Prasasti ini berketinggian 210 cm, lebar 90 cm, ketebalan 22 cm, dan berbahan andesit

Dilihat dari struktur pada foto diatas, maka terlihat sebuah tonjolan yang berfungsi sebagai akar ketika prasasti ditancapkan, agar tidak terus tertekan kedalam tanah terdapat juga penahan yg lebih tebal dari badan prasasti, seperti sabuk . Tonjolan ini berukuran sekitar 66 cm yang mestinya tertancap kedalam tanah. Kondisi prasasti ini sangat memprihatinkan dan perlu mendapatkan perhatian yang serius karena sangat rawan terhadap pencurian. 


7. Prasasti Mendogo

Prasasti ini tertancap di sebuah akar pohon, dengan kondisi pohon menjepit badan prasasti, hanya bagian tas ujung prasasti yang terlihat dengan posisi miring. Sehingga sulit diketahui ukuran pasti badan prasasti, baik lebar, maupun tingginya. Hanya ketebalan saja yg dapat diukur, yaitu sekitar 20 cm.

Jejak tulisan pada prasasti ini juga sangat sulit dikenali mengingat kondisinya berlumut dan sangat aus, ditambah medan yang sangat sulit.

Hampir tidak ada keterangan apapun mengenai prasasti ini, data yang ada hanya sekedar catatan dari dinas setempat. Juga tidak ditemui data pada registrasi maupun penelitian sebelumnya.


Persebarab prasasti di Kecamatan Modo, diantaranya;

1. Prasasti Sedah

Terletak di Dusun Sedah, Desa Pule Kec. Modo. Kondisi prasasti ini sudah sangat aus, sehingga tidak dikenali lagi jejak aksaranya, atau bisa jadi baru sekedar bakalan prasasti. Prasasti ini berketinggian 153 cm, lebar 95 cm, ketebalan 29 cm, dan berbahan batu putih.

Prasasti ini berada disekitar persil perhutani dan berdekatan dengan jalan menuju kec. Modo. Disekitar prasasti berjarak sekitar 200 m, juga terdapat sebuah Punden yang dinamakan Punden Sentono.

Namun demikian tidak diketahui pasti apakah antara batu prasasti dan punden ini apakah saling berhubungan. Tidak ada juga catatan mengenai prasasti ini dari penelitian ataupun register yang pernah dilakukan sebelumnya.

Keadaan prasasti sekarang cukup terlindungi dengan keberadaan sebuah cungkup yang dibuat secara permanen dan berpagar besi disekitar lokasi prasasti.


2. Prasasti sambangan 1

Prasasti yang dikenal dengan prasasti sambangan I ini terletak ditengah-tengah areal persawahan milik Bpk. Parlan, disebelah barat sendang desa, yang terlihat hanya sebagian badan prasasti. Bentuk bagian atas prasasti kurawal (akolade) dengan permukaan yang kasar dan berlubang-lubang. Keadaan tidak terawat, prasasti yang tulisanya tidak terlihat lagi ini berada pada posisi 07° 14’ 42,5” LS dan 112° 07’ 56,5” BT, berketinggian 65 cm, lebar 72 cm, ketebalan 14 cm, dan berbahan bahan putih.
 

3. Prasasti sambangan 2

Prasasti yang dikenal dengan prasasti sambangan II ini terletak pada pematang sawah milik Bpk. Parlan, ± 50 m arah barat dari prasasti sambangan I, sebagian besar prasasti tertanam di dalam tanah hanya terlihat sebagian, permukaan kasar dan berlubang-lubang sehingga tulisanya sulit dikenali, keadaan tidak terawat. Prasasti ini berada di Dusun Sambangan, Desa Sambangrejo, Kecamatan Modo berketinggian 47 cm, lebar 73 cm, berketebalan 29 cm, berbahan batu putih, dan berada pada titik koordinat 07⁰ 14’ 42,5” LS dan 112⁰ 07’ 56,5” BT.



Persebaran prasasti di kecamatan Mantup, diantaranya:

1. Prasasti Tugu

Prasasti ini terletak di Desa Tugu Kecamatan Mantup, dengan kondisi sekitar tanpa ada pelindung atau cungkup. Menurut penduduk setempat, prasasti ini terletak disebuah tanah punden, ditandai dengan sebuah kuburan disamping prasasti tersebut. Keadaan prasasti sudah sangat aus dan tidak ditemukan jejak tulisan sama sekali, sangat mungkin ini adalah sebuah bakalan prasasti.

Berita register yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1907 juga menyebutkan hal yang sama, bahwa prasasti ini sejak terdata tidak diketahui jejak tulisan pada badan prasasti. Prasasti ini berketinggian 147 cm, lebar 92 cm, berketebalan 22 cm, dan berbahan andesit. 



Persebaran prasasti di Kecamatan Brondong, diantaranya:

1. Prasasti Sendangharjo

Prasasti ini terletak di tengah-tengah sebuah pasar Desa, tepatnya di Dusun Wide, Desa Sendangharjo Kec. Brondong.

Dalam beberapa catatan Pemerintah Daerah Lamongan, Prasasti ini sebenarnya dinyatakan telah hilang. Namun sebuah dokumen foto yang sempat diberikan oleh Pak Suyari (Kabid Kebudayaan 2009). Menjadi bekal penelusuran tim LSAPS, dan mendapati prasasti ini bersama seorang warga (P. Turkan).

Prasasti ini sudah sangat aus dan bahkan sangat halus sehingga tidak diketahui lagi jejak tulisannya, kondisinya juga patah terbagi dua. Masing-masing bagian tertancap ditanah dan disemen dengan kuat bersama lantai pasar. Terbuat dari batuan Lokal yang berwarna kuning dan sangat keras.

Posisi prasasti betketebalan 18 cm, Lebar prasasti 110 cm, dengan tinggi masing-masing bagian 45 cm dan 65 cm sementara bahan dari batu kuning. Tidak diketahui literatur terhadap prasasti ini, sehingga tidak dapat diketahui dari peninggalan kerajaan apa dan raja siapa, serta isi prasasti seharusnya. 



Persebaran prasasti di Kecamatan Turi, diantaranya:

1. Prasasti Keben.

Prasasti ini terletak di Desa Keben kec. Turi Lamongan, berada disebelah selatan sebuah lapangan bola ditimur Desa. Prasasti ini pernah tercatat dalam register belanda tahun 1907. Dari data register dapat diketahui jika prasasti ini berhuruf jawa kuno, dengan ukuran tinggi 132 cm, lebar 105 cm, dan ketebalan 10 cm.

Mengingat lokasi prasasti ini sekarang berada disebuah genangan air, hingga sekarang belum dapat dilakukan pemotretan, pengukuran dan pemantauan ulang sehingga bentuk fisik prasasti belum dapat ditampilkan. Dalam beberapa data sebelumnya prasasti ini sudah dinyatakan hilang.

Data persebaran lebih lanjut mengenai seluruh prasasti di Lamongan akan di uraikan dalam laporan yang sedang kami susun bersama tim telusur.



Catatan Penutup

Sekitar pantura jawa (Paciran dan Brondong), Bengawan Solo, dan Kali Lamong adalah lahan penelitian arkeologis yang belum banyak di ungkap oleh para arkeolog dan sejarawan. Jika dilihat dari jejak arkeologis yang ada, yakni banyaknya prasasti yang tersebar maka Lamongan berpotensi untuk menjadi rujukan utama dalam penggalian sejarah Kerajaan Airlangga. Kemungkinan besar Lamongan mampu membuktikan sebagai salah satu ibu kota Kerajaan Airlangga (Kahuripan) masa itu, berdasarkan dari fakta arkeologis yang ada (Prasasti Pamwatan 1042M dan Prasasti Terep 1032M).

Berbagai bukti arkeologi yang telah ditemukan berperan mengungkap sejarah panjang Kabupaten Lamongan. Terkait upaya menguak sejarah di Kabupaten Lamongan khususnya masa Raja Airlangga, masih mengalami banyak persoalan yang cukup rumit, karena ketersediaan data yang terbatas maka harus disikapi dengan hati-hati dan cermat dalam memberikan penafsiran maupun interpretasi. Kendati banyak bukti yang ditemukan tetap saja tidak bisa berbuat banyak mengingat tidak semua penemuan bisa diidentifikasi, yang muncul kemudian penggalan-penggalan peristiwa sehingga peristiwa sejarah tidak terbaca secara utuh. Kondisi seperti ini tidak menutup kemungkinan perlu diadakanya penelitian lebih lanjut.

Berdasarkan hasil penelusuran dilapangan yang telah dilakukan LSAPS ada sekitar 30 prasasti batu, yang tersebar di hampir semua wilayah kecamatan di Kabupaten Lamongan. Sekitar 8-10 diantaranya sekarang hilang (dicuri/tenggelam). diantaranya, prasasti Pamwatan. Prasasti Garung, Prasasti candisari dll. Ditambah lagi dengan kondisi sebagian besar prasasti batu yang memprihatinkan dan sangat butuh perhatian dari berbagai pihak, kecuali prasasti Nogojatisari yang dijaga penuh dan di cungkup-i dengan bangunan permanen. Maka pemerintah daerah diharapkan pro aktif dalam melakukan perlindungan benda cagar budaya sebelum sejarah besar Lamongan lenyap tinggal cerita.

sumber : Priyo Utomo

Makam Joko Tingkir ( Mas Karebet ) di Lamongan...??

Dukoh, Pinggoboyo Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan


Dusun Dukoh
Dukoh adalah sebuah dusun kecil Rt. 08 Rw.O3 di Desa Pringgoboyo Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan. Disanalah tempat aku dilahirkan dan pertama kali mengenal kehidupan, Minggu Wage tanggal 1 April 1990.







Makam Mbah Anggungboyo
Makam Mbah Anggungboyo, orang-orang disana menyebut makam itu adalah makam Joko Tingkir. Sebuah makam keramat yang terkadang dikunjungi banyak penziarah dari luar desa bahkan luar kota, bahkan Almarhum KH. Abdul Rahman Wahid atau terkenal dengan sebutan “Gusdur” pernah dua kali berziarah kesana. Dan bahkan Alm. Mantan Presiden Soeharto menurut sumber pernah datang berziarah pada malam hari agar tidak diketahui.  
 Di pinggir makam tersebut tumbuh pohon asam yang batangnya berukuran ± 1 meter, entah berapa usia pohon tersebut, mungkin puluhan atau bahkan ratusan tahun. Dulu ketika masih sekolah madrasah ibtidaiyyah, aku dan teman-temanku sering mencari asam yang jatuh dan dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu. Namun, karena usia yang terlalu lama pohon tersebut sekarang telah kering. Juru kunci makam tersebut bernama Atekan, yang aktivitas nya banyak dihabiskan dalam makam tersebut, dan sering beliau tidur di Langgar keci.


Namun menurut beberapa sumber lain, mengatakan bahwa di Pringgoboyo adalah makam pengawalnya Joko Tingkir, dan ada yang menyebut petilasan Joko Tingkir sebagai penanda.
Hal begitu dikuatkan jika merujuk oleh Serat centhini,  


Serat centhini di atas memestikan bahwa peran sentral tokoh Joko Tingkir bukan di Lamongan melainkan di pajang dekat kota solo. Terlebih disaat Joko Tingkir sibuk berkutat mempertahankan eksistensi pajang setelah perpindahannya. Pikiran beliau terus menerus fokus pada implikasi masalah penyerahan tanah mentaok dekat kota yogyakarta ke tnagan Ki Ageng Pemanahan. Gara-gara keyakinan beliau sebagai penganut ma’rifat kejawen menunggaling kawulo gusti mempercayai ramalan Sunan Giri , bahwa tanah mentaok yang dihadiahkan itu kelak akan menjadi kerajaan besar menjelma sebagai pusat politik di tanah Jawa. 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Template
Copyright © 2011. mengenal kota lamongan - All Rights Reserved