Tulisan ini sebuah ringkasan, dari
rintisan penulis untuk menguraikan jejak-jejak kuno baik berupa
prasasti dan juga situs-situs candi yang masih terpendam di bumi
Lamongan. Semoga bisa memberikan manfaat bagi seluruh Masyarakat
Lamongan khususnya dan semua pihak secara umum.
“Lamongan menyimpan data yang luar biasa mengenai Prabu Airlangga. Airlangga itu raja besar malah lebih besar dari Hayam Wuruk.
Dari disertasi saya saja sudah 7 artikel saya buat tentang Airlangga,
yang paling lengkap ingin saya sampaikan di Lamongan supaya orang
Lamongan bisa bangga dengan leluhurnya”, Dr. Ninie Soesanti arkeolog UI.
Demikian ungkapan Dr. Ninie Soesanti
seorang arkeolog UI yang pernah meneliti beberapa prasasti Airlangga di
Lamongan. Ungkapan ini disampaikan melalui email saat saya berkomunikasi
tentang transkrip beberapa prasasti Airlangga di Lamongan.
Dari sepintas ungkapan di atas dan didukung dengan fakta arkeologis
dilapangan, maka judul tulisan diatas nampaknya tidak berlebihan.
Lamongan memang menyimpan banyak data berkaitan dengan masa pemerintahan
kerajaan Prabu Airlangga, terutama berupa tulisan diatas batu atau yang
biasa disebut dengan prasasti batu. Dari data
sementara yang terkumpul paling tidak terdapat 41 prasasti batu yang
sebagian besar diperkirakan berasal dari zaman sebelum munculnya
Kerajaan Majapahit, namun demikian belum pernah ditemukan adanya
keterangan prasasti pada era singasari. Beberapa prasasti seperti
prasasti pamwatan (Pamotan), prasasti Pasar Legi (Sendang Rejo, dulunya
satu Desa), prasasti Puncakwangi, Prasasti Wotan (Slahar Wotan), dan
lainnya jelas teridentifikasi sebagai prasasti-prasasti yang di
keluarkan oleh Prabu Airlangga.
Disamping prasasti-prasasti yang tersebut
diatas masih banyak jajaran prasasti lainnya yang belum teridentifikasi
secara pasti mengenai tahun dikeluarkannya prasasti dan juga kandungan
isi dari prasasti tersebut. Yang perlu disayangkan adalah akibat dari
kurangnya perhatian berbagai pihak, banyak dari prasasti-prasasti
tersebut dalam kondisi yang sangat memprihatinkan karena terkesan tidak
ada kepedulian baik dari pihak yang berwenang maupun masyarakat secara
umum. Kondisi ini menyebabkan banyak prasasti yang makin rusak bahkan
kemudian banyak juga yang hilang dicuri, dirusak orang atau
tengelam/terkubur.
Menurut hasil-hasil penelitian para
arkeolog sebagian besar prasasti Airlangga banyak ditemukan disekitar
Jombang dan Lamongan, membujur dari sekitar Ploso ditepian sungai
Brantas, Sambeng, Ngimbang, Modo, dan Babat sekitar Bengawan Solo.
Berdasar dari data faktual berupa prasasti tersebut maka tidak heran
jika banyak ahli sejarah yang menyimpulkan bahwa pusat kekuasaan Raja
Airlangga diperkirakan berada di sekitar Ngimbang. Jika pendapat ini
benar maka bisa dipastikan bahwa Lamongan merupakan daerah yang penting
semasa Pemerintahan Kerajaan Airlangga. Tidak dapat dinafikan pula bahwa
wilayah Lamongan menjadi sentral dalam upaya mengungkap dan mempelajari
sejarah kerajaan Airlangga.
Airlangga adalah penerus wangsa isana di jawa timur yang lolos dari bencana pralaya
yang meluluh lantakkan istana Mataram kuno masa pemerintahan
Dharmawangsa Teguh. Peristiwa serangan mendadak yang dilancarkan oleh
Raja Wurawari ini terjadi tepat pada saat pesta perkawinan antara
Airlangga dan putri Raja Dharmawangsa Teguh sedang berlangsung. Serangan
ini banyak menewaskan para pembesar Istana termasuk Raja Dharmawangsa
Teguh juga meninggal dalam serangan tersebut dan dicandikan di Wwatan.
Airlangga, yang datang ke Mataram untuk
dinikahkan dengan anak Dharmawangsa teguh, adalah anak dari
Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, saudara perempuan Dharmawangsa
Teguh, dengan Udayana, seorang Raja dari wangsa Warmmadewa Bali. Saat
pesta perkawinan berlangsung peristiwa pralaya terjadi ( 1016 M) , Airlangga yang pada saat itu baru berumur 16 tahun mampu menyelamatkan diri dari pralaya,
bersama seorang hambanya yang setia, Narottama. Airlangga menjalani
kehidupan di hutan lereng gunung dan berkumpul dengan para pertapa dan
pendeta. Kehidupan Airlangga dihutan bersama dengan pertapa dan pendeta
nampaknya banyak memberikan pelajaran dalam perjalanannya kemudian saat
menjadi Raja. Sejak inilah perjuangan Airlangga dimulai. Sebagai jelmaan
dewa Wisnu (saksatiranwisnumurtti) Airlangga membangun tahta dari
puing-puing kehancuran kerajaannya.
Setelah melewati masa persembunyian
dengan kalangan pertapa, Airlangga didatangi oleh utusan para pendeta
dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana) yang menyampaikan
permintaan supaya ia menjadi pemimpin di kerajaan yang istananya telah
hancur tersebut. Tahun 1019 Airlangga dengan direstui para pendeta dari
ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana). Dia berhasil naik tahta
dengan bergelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga
Anantawikrama Utunggadewa dikukuhkan di Halu (ikanang halu kapratisthan
sri maharaja) selanjutnya Airlangga membuat arca perwujudan leluhurnya
yang telah dicandikan di Isanabajra (Sang lumah ring Isanabajra),
penobatannya dikukuhkan pada sasalanchana abdi vadane (bulan lautan muka
= 941 Saka/1019 M).
Periode awal pemerintahan Airlangga
dipenuhi dengan peperangan dan penaklukan negara-negara bawahan yang
pernah menjadi bagian dari pemerintahan kerajaan Dharmawangsa Teguh.
Pada tahun 943 Saka (1021) Raja Airlangga telah memberi anugerah ‘sima’
kepada penduduk Desa Cane yang masuk wilayah tinghal pinghay, karena
mereka terlah berjasa menjadi “benteng” disebelah barat kerajaan,
senantiasa memperlihatkan ketulusan hatinya mempersembahkan bakti kepada
raja, tiada gentar mempertaruhkan jiwa raganya dalam peperangan, agar
sri maharaja memperoleh kemenangan.
Prasasti Pucangan memberitakan bahwa
antara tahun 1029 – 1037 Airlangga menaklukan Wuratan (1030 M) dengan
rajanya bernama Wisnuprabhawa terkenal sangat kuat (atisayeng mahabala), pada tahun sama menyerang raja Panuda dari Wengker (pangharpharpan mwang haji wengker).
Tahun 1032, haji Wura Wari yang memporandakan kraton Dharmmawangsa
Teguh, menaklukan juga seorang ratu wanita (?) yang konon sangat gagah
seperti raksasi. Berita ini khusus dimuat pada bagian berbahasa
Sansekerta. Prasasti (tembaga) Terep (1032) menerangkan kraton Airlangga
di Wwatan Mas diserang musuh (?) sehingga Airlangga harus menyingkir ke
Patakan (ri kala sri maharaja kalataya sangke wwatan mas mara i patakan).
Setelah melewati berbagai peperangan,
penaklukan, dan konsolidasi diawal hingga pertengahan masa
pemerintahannya. Peringatan kemenangan kemudian dikukuhkan di dalam
prasasti Turun Hyang A (1036) dan menganugerahkan penghargaan daerah
sima kepada penduduk desa Turun Hyang karena jasa-jasanya dalam
pembiayaan dan pengelolaan pertapaan Sriwijayasrama dan
pertapaan-pertapaan lainnya di gunung Pugawat (matang ya siddhaken prajnanira madamel yasa patapaning pucangan) seperti disebut dalam prasasti Pucangan.
Patakan; Ibukota Sementara Dalam Pelarian Sang Raja
Periode antara tahun 951 saka (1029 M)
sampai dengan tahun 959 saka (1037 M) adalah periode penaklukan yang
dilakukan oleh Raja Airlangga terhadap musuh-musuhnya baik yang berada
wilayah barat, timur, dan selatan. Berita pada prasasti pucangan
memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukan
oleh raja Airlangga atas musuh-musuhnya tersebut.
Namun demikian diantara tahun-tahun
tersebut bukan berarti istana Airlangga telah aman dari serangan musuh,
kesuksesan dalam penaklukan wilayah sekitar ternyata juga diselingi
dengan kekalahan bahkan pelarian. Peristiwa kekalahan yang dialami
Airlangga, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan keratonnya di Wwtan
Mas dan melarikan diri dari istananya menuju ke Desa Patakan,
diterangkan dalam prasasti Terep tahun 954 Saka (21 Oktober 1032 M) “sri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan”,
namun siapa musuh yang menyerangnya tidak jelas disebutkan. Para ahli
sejarah menduga bahwa yang melakukan serangan ini adalah Raja Wurawari,
artinya Raja Wurawari mendahului penyerangan terhadap ibukota kerajaan
Airlangga sebelum kemudian Airlangga membalas serangan tersebut dan
menghancurkan kerajaan Wurawari.
Dalam prasasti terep dikatakan bahwa raja
telah memberikan anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong, adik
raja sendiri, karena telah berjasa pada waktu Raja Airlangga harus
menyingkir dari Wwatan Mas ke Desa Patakan. Di Desa Terep Rakai Pangkaja
bersembunyi didalam suatu pertapaan, dan disitu ia menemukan arca
Bhatari Durga. Maka ia berdo’a dan memohon kepada sang batari agar raja
memperoleh kemenangan dalam peperangan. Ia berjanji jika permohonan itu
terkabul ia akan mohon agar Desa Terep, tempat pertapaan itu, ditetapkan
menjadi sima. Maka kini setelah raja dapat mengalahkan musuhnya itu,
dan kembali bertahta diatas singgasana permata, Rakai Pangkaja Dyah
Tumambong Mapanji Tumanggala menghadap raja dan mengajukan permohonanya.
Maka dikabulkanlah permohonan itu, yaitu ditetapkannya pertapaan tempat
pemujaan betari sebagai daerah swatantra, termasuk sawahnya, kebunnya,
dan sungainya, dan ditambah lagi dengan anugerah gelar halu. Maka
selanjutnya ia bergelar Rake Halu Dyah Tumambong
Peristiwa kekalahan dan pelarian raja
Airlangga dari istana Wwatan Mas menuju desa Patakan terjadi pada tahun
yang sama dengan penaklukan yang dilakukan Raja Airlangga terhadap Raja
Wurawari. Jika perkirakan diatas benar, bahwa Raja Wurawari melakukan
serangan terlebih dahulu dan berhasil memaksa Raja Airlangga untuk
menyingkir ke Desa patakan. Maka dapat dipastikan bahwa serangan balik
terhadap Raja Wurawari di persiapkan oleh Raja Airlangga dari istana
sementara.
Berangkat dari istana sementara di Desa
Patakan Raja dengan diiringi oleh rakryan Kanuruhan Mpu Narottama dan
Rakryan Kuningan Mpu Niti berhasil menyerbu Raja Wurawari dari arah
Magehan (Magetan?). serangan ini berhasil melumpuhkan pertahanan Raja
Wurawari dan mengalahkannya, maka lenyaplah semua perusuh di tanah Jawa.
Keberadaan Desa Patakan sebagai pusat
pemerintahan sementara juga dikuatkan dengan adanya Prasasti Sendangrejo
Kecamatan Ngimbang (dulu bernama Desa Pasar Legi Kecamatan Sambeng) 965
Saka atau 1043 M, yang memuat tentang penghargaan/anugerah terhadap
penduduk Desa Patakan, sayang prasasti ini rusak pada bagian sambandhanya
sehingga tidak bisa terbaca secara jelas lagi. Sangat mungkin pemberian
anugerah ini berhubungan dengan pertolongan dan darma bakti penduduk
patakan terhadap Raja Airlangga pada saat melarikan diri ke desa
tersebut.
Disamping keterangan dari Prasasti Terep
dan Prasasti Sendangrejo, Prasasti Patakan sendiri juga memuat anugerah
Raja kepada rakyat Desa Patakan. Patakan adalah suatu daerah yang pernah
dijadikan sima karena punya kewajiban memelihara bangunan suci Sang Hyang Patahunan,
sayang belum ada terjemahan yang cukup mengenai prasasti ini, isi
prasasti sebetulnya lengkap tetapi prasasti pecah berantakan. JLA
Brandes pernah membaca walaupun tidak lengkap. Prasasti tersebut
sekarang ada di Museum Nasional dengan nomor D22.
Mengapa Airlangga memilih Desa Patakan
sebagai tempat untuk melarikan diri dan memindahkan kekuasaanya untuk
sementara?. Pemilihan Desa Patakan sebagai tempat bagi Raja Airlangga
untuk melarikan diri sebenarnya bukanlah sebuah kebetulan semata, namun
merupakan sebuah perencanaan matang yang didasari oleh posisi strategis
Desa Patakan yang berada di bagian puncak dari perbukitan gunung kendeng
yang membujur kearah barat, disamping jaminan keamanan dan kesetiaan
yang bakal diterima oleh Raja Airlangga dari penduduk Desa Patakan.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa Raja
Airlangga dinobatkan sebagai Raja dengan restu para pemuka agama dari
tiga aliran yang berkembang pada saat itu. Artinya Raja Airlangga
memiliki hubungan yang sangat dekat dengan berbagai tokoh dan pemuka
agama dari berbagai aliran tersebut. Di Desa Patakan, sebagaimana isi
dari prasasti Patakan, tedapat bangunan peribadatan Sang Hyang Patahunan, yang berarti terdapat seorang pendeta
yang sudah demikian dekat dengan Raja Airlangga yang dengan segenap
daya dan pengikutnya tentu akan melindungi sang raja dari segala
gangguan musuh. Jaminan keamanan ini sangatlah penting dalam situasi
saat pelarian yang sangat beresiko jika saja sang Raja salah dalam
memilih lokasi pelarian.
Tidak heran jika kemudian Raja Airlangga
meneguhkan ulang status Sima bagi Desa Patakan untuk yang kedua kalinya
dalam Prasasti Sendangrejo (1043 M) yang juga merupakan prasasti
terakhir yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga sebelum kerajaan di belah
menjadi dua bagian Jenggala dan Pangjalu.
Jejak mengenai tempat peribadatan atau
candi di Desa Patakan ini masih terlihat hingga sekarang dan dalam
keadaan yang memprihatinkan (penulis pernah mendatangi lokasi candi
ini), sayangnya hingga sekarang belum ada perhatian dari Pemerintah
Daerah Kabupaten Lamongan dan juga belum ada penelitian dari kalangan
Arkeolog. Namun jika melihat jejak-jejak yang ada pada lokasi disekitar
bekas reruntuhan candi tersebut, masih ada situs-situs yang lain yang
belum dapat penulis identifikasi bentuk bangunannya satu persatu, sangat
mungkin keseluruhan dari bagian situs ini merupakan sebuah kompleks
bangunan (petirtaan atau bahkan istana) yang bersanding dengan sebuah
bangunan candi.
Pamotan; Kota Dahanapura Pangjalu Sebelum Kediri
Raja Airlangga (1016-1042 M) memerintah
di Jawa Timur sejak 1021 sesuai dengan isi prasati Pucangan (Calcutta).
Pusat kerajaan Airlangga berpindah-pindah karena diserang oleh musuh.
Setelah peristiwa pralaya yang menghancurkan istana Wwatan
milik Dharmawangsa Teguh, Airlangga yang bersembunyi di hutan lereng
gunung kembali merebut istana Wwatan, menurut prasasti Cane (1021 M)
Airlangga kemudian membangun istana Wwatan Mas. Prasasti Terep (1032 M)
menyebutkan raja Airlangga lari dari istananya di Watan Mas ke Patakan
karena serangan musuh. Setelah airlangga berhasil menaklukan Raja
Wurawari pada tahun 954 Saka (1032 M), rupanya Raja Airlangga tidak
kembali lagi ke Istana Wwatan Mas, namun ia justru meninggalkan istana
Wwatan Mas dan membangun istana/ibukota baru di Kahuripan. Berita ini
termuat dalam prasasti Kamalagyan 1037 M, yang berbunyi “makateweka pandri sri maharaja makadatwan i kahuripan”.
Lalu sejak kapan airlangga memindahkan ibukota kerajaannya ke Dahana(pura)?. Nama Dahana(pura) termuat dalam uraian Serat Calon Arang sebagai
ibukota kerajaan Airlangga, namun dalam uraian serat tersebut tidak
disebutkan dimana letak kota Dahana(pura) juga tidak di Kediri ataupun
di Lamongan.
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum
Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang
berarti kota api. Nama ini terdapat dalam bagian atas prasasti Pamwatan
(Pamotan) yang dikeluarkan Airlangga tahun 964 Saka atau tepatnya 19
Desember 1042 Masehi yang merupakan prasasti akhir dari pemerintahan
Raja Airlangga. Hal ini tentu sesuai dengan berita dalam Serat Calon
Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah
tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Pada akhir November 1042, Airlangga
terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing
memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan
kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu
Dahana(pura). Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan
kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu
Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah
menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama
Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai
pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah
ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
kontributor : Yok’s Slice Priyo
+ komentar + 2 komentar
Your all the old article are also too good,thanks it is good article and thanks for sharing its really helpful.
ufabet
Tlng di adakan kirab budaya di Lamongan spt di Kediri tiap 1 Suro
Posting Komentar
Silahkan bertanya Artikel kepada Kami.. Kami Coba untuk membantu..